Selasa, 03 Maret 2015

Teori Belajar Matematika

Teori- teori belajar matematika pada pembelajarannya Matematika di SD

Teori- teori belajar matematika pada pembelajarannya Matematika di SD A. Hakikat Pembelajaran Matematika Pembelajaran matematika di SD merupakan salah satu kajian yang selalu menarik untuk di kemukakan karena adanya perbedaan karakteristik khususnya antara hakikat anak dan hakikat matematika. Anak usia SD sedang mengalami perkembangan pada tingkat berpikirnya. Ini karena tahap berpikir mereka masih belum formal. Pelajaran matematika bagi siswa SD berguna untuk kepentingan hidup pada lingkungannya , mengembangkan pola pikirnya, dan untuk mempelajari ilmu – ilmu yang kemudian. Dan pada hakikatnya pembelajaran matematika adalah proses yang sengaja dirancang dengan tujuan untukmenciptakan suasana lingkunganyang memungkinkan seseorang(sipelajar) melaksanakan kegiatanbelajar matematika.Pembelajaran matematika harusmemberikan peluang kepada siswa untuk berusaha dan mencari pengalaman tentang matematika. 
B. Tujuan Matematika di SD/MI
1. Memahami konsep matematika, keterkaitan antar konsep dan aplikasi konsep dalam pemecahan masalah. 2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah.
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelaskan keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai matematika dalam Kehidupan.
C. Teori matematika menurut para ahli:
1. Teori Belajar Bruner Tiga Tahap Perkembangan Mental Anak-anak menurut Bruner : a.Tahap Enaktif ; konkret b.Tahap Ikonik ; semi konkret c.Tahap Simbolik ; abstrak
2. Teori Pembelajaran Piaget Anak SD berada pada tahapoperasi konkret. Perkembangan belajar matematika anak melalui 4 tahap: 1) Konkret, 2) semikonkret, 3) semi abstrak, dan 4)abstrak

Jean Piaget ; Perkembangan mental setiap orang melalui 4 tahap 1. Sensorimotor (0-2 th) interaksi dengan dunia fisik 2. Praoperasional (2-7 th) bahasa untuk menyatakan ide. 3. Operasional konkret (7-12 th) mengembangkan konsep melalui benda konkret 4. Operasional formal (12th-dewasa) mulai mampu berpikir secara abstrak
3. Teori Belajar Dienes Menggunakan contoh yang banyak dan bervariasi agar anak memahami konsep secarautuh. Permainan berperan penting dalam pembelajaran matematika jika dimanipulasi dengan baik Tahap-tahap Belajar menurut Dienes: 1. Permainan bebas (free play) 2. Permainan yang disertai aturan (games) 3. Permainan kesamaan sifat (searching for comunities) 4. Representasi (representation) 5. Simbolisasi (symbolization) 6. Formalisasi (formalization) Aplikasi Teori Belajar Dienes: 1. Hukum Kekekalan Bilangan (6-7th) “Banyak benda akan tetap meskipunletaknya berbeda-beda”. 2. Hukum Kekekalan Materi (7-8th) “banyak pasir/air tetap walau dipindahkan ke tempat/wadah yang lain”.contoh: peristiwa bejana di isi pasir/air 3. Hukum Kekekalan Panjang (8-9th) contoh: dua tali yang sama panjang 4. Kekekalan Luas (8-9th) “luas daerah yang ditutupi suatu bendaakan tetap sama meskipun letak bendanyadiubah” 5. Hukum Kekekalan Berat (9-10th) “berat benda akan tetap meskipun bentuk,tempat dan alat timbangan benda tersebutberbeda-beda” 6. Hukum Kekekalan Isi (14-15th) “suatu bak yang berisi penuh airdimasukkan suatu benda, maka air yangditumpakah sama dengan isi benda yangdimasukkannya.

4. Teori Pembelajaran Skemp 1. Menurutnya anak belajar mmatematika melalui dua tahap, yaitu konkret dan abstrak 2. Memanipulasi benda-benda untuk belajar lebih lanjut, contoh dalam belajar 2x3 = 3x2 siswa dapat menggunakan potonganpotongan karton persegi. Atau melalui permainan 5. Teori Pembelajaran Brownell 1. Dikenal dengan Teori Makna 2. Tujuan pembelajaran >> agar siswa tahu tentang pentingnya dan makna dari suatu bilangan 3. Lebih menggunakan benda – benda konkret dalam membentuk pemahaman siswa Contoh : Guru menggunakan 3 mangga, 3 apel, 3 kayu untuk menanamkan konsep bilangan 3 6 . Teori Pembelajaran Van Hiele Unsur utama dalampembelajaran geometri : waktu,materi pengajaran, metodepengajaran ditata secaraterpadu. a. Khusus membahas tentang Geometri b. Tahap pembelajaran ada 5 : 1. Tahap 0 (visualisasi): siswa mengenal bentuk-bentuk geometri hanya sekedar berdasar karakeristik visual dan penampakannya 2. Tahap 1 (Analisis): siswa dapat menentukan sifat-sifat suatu bangun dengan melakukan pengamatan, pengukuran, eksperimen, menggambar, dan membuat model 3. Tahap 2 (Deduktif informal): mampu melakukan penarikan kesimpulan yang dikenal dengan berpikir deduktif 4. Tahap 3 (Deduktif): siswa mampu menyusun bukti dan teorema serta mampu mengembangkannya lebih dari satu cara 5. Tahap 4 (Rigor): siswa mampu bernalar secara formal tanpa menggunakan model-model yang konkret sebagai acuan 7.
Teori Belajar Gagne Teori yang diperkenalkan Robert M.Gagne pada tahun 1960-an pembelajaran harus dikondisikan untuk memunculkan respons yang diharapkan.Menurut Gagne (dalam Ismail 1998), belajar matematika terdiri dari objek langsung dan objek tak langsung. 1. Objek-objek langsung pembelajaran matematika terdiri atas : a. Fakta-fakta matematika b. Ketrampilan-ketrampilan matematika c. Konsep-konsep matematika d. Prinsip-prinsip matematika 2. Objek-objek tak langsung pembelajaran matematika adalah : a. Kemampuan berfikir logis b. Kemampuan memecahkan masalah c. Sikap positif terhadap matematika d. Ketekunan e. KetelitianTaksonomi Gagne Teori belajar matematika
A. Teori Brunner Bruner yang memiliki nama lengkap Jerome S.Bruner seorang ahli psikologi (1915) dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, telah mempelopori aliran psikologi kognitif yang memberi dorongan agar pendidikan memberikan perhatian pada pentingnya pengembangan berfikir. Bruner banyak memberikan pandangan mengenai perkembangan kognitif manusia, bagaimana manusia belajar, atau memperoleh pengetahuan dan mentransformasi pengetahuan.Dasar pemikiran teorinya memandang bahwa manusia sebagai pemproses, pemikir dan pencipta informasi.
Bruner menyatakan belajar merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan manusia untuk menemukan hal-hal baru diluar informasi yang diberikan kepada dirinya. Ada tiga proses kognitif yang terjadi dalam belajar, yaitu (1) prose perolehan informasi baru, (2) proses mentransformasikan informasi yang diterima dan (3) menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Perolehan informasi baru dapat terjadi melalui kegiatan membaca, mendengarkan penjelasan guru mengenai materi yang diajarkan atau mendengarkan audiovisual dan lain-lain.Proses transformasi pengetahuan merupakan suatu proses bagaimana kita memperlakukan pengetahuan yang sudah diterima agar sesuai dengan kebutuhan.Informasi yang diterima dianalisis, diproses atau diubah menjadi konsep yang lebih abstrak agar suatu saat dapat dimanfaatkan. Bruner melalui teorinya mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak baiknya diberi kesempatan memanipulasi benda-benda atau alat peraga yang dirancang secara khusus dan dapat diotak atik oleh siswa dalam memahami suatu konsep matematika.Melalui alat peraga yang ditelitinya anak akan melihat langsung bagaiman keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam benda yang diperhatikannya.
Peran guru adalah : 1. perlu memahami struktur pelajaran 2. pentingnya belajar aktif supaya seorang dapat menemukan sendiri konsep-konsep sebagai dasar untuk memahami dengan benar 3. pentingnya nilai berfikir induktif. Proses internalisasi akan terjadi secara sungguh-sungguh (yang berarti proses belajar secara optimal) jika pengetahuan yang dipelajari itu dalam 3 model yaitu : 1. Tahap enaktif Pada tahap ini, dalam belajar anak didik menggunakan atau memanipulasikan benda-benda konkret secara langsung.
Contohnya: untuk memahami konsep operasi penjumlahan bilangan cacah 5 + 2, anak melakukannya dengan menambahkan 2 batang lidi kedalam sekelompok 5 batang lidi, sehingga lidi tersebut bertambah jumlahnya menjadi 7 batang.
2. Tahap ikonik Dalam tahap ini, anak didik tidak menggunakan benda konkret lagi, melainkan sudah mampu memanipulasi dengan memakai gambaran dari objek yang dimaksud.
Contoh: dengan menggambar 2 batang lidi dan 5 batang lidi yang disatukan sehingga menjadi 7 batang. 3. Tahap simbolik Dalam tahap ini, anak mampu memanipulasi simbol-simbol secara langsung tanpa menggunakan benda atau objek.
Contohnya: setelah melalui tahap-tahap sebelumnya, anak dapat menuliskannya secara simbolik sehingga anak dapat menuliskan 5 + 2 = 7 Jerome Bruner membagi 4 macam teorema. 1. Teorema penyusunan (teorema konstruksi) Menurut teorema penyusunan ini, bahwa cara yang terbaik memulai belajar suatu konsep matematika, dalil atau aturan, definisi dan semacamnya adalah dengan cara menyusun penyajiannya.dengan cara ini siswa akan lebih mudah mengingat ide yang sudah dipelajari dan lebih mampu dalam menerapkannya pada suasana lain.Contoh ; untuk memahami konsep penjumlahan kita tentukan 4 + 3 = 0. Siswa diminta untuk mencobanya sendiri bahwa pada garis bilangan mulai dari titik 0 bergeser ke kanan sejauh 4 satuan, dilanjutkan bergeser ke kiri sejauh 3 satuan dan berakhir di titik -1. Dengan mencoba menjumlahkan untuk berbagai bilangan bulat positif dengan bilangan bulat negative lainnya siswa dapat diharapkan betul – betul memahami konsep tersebut. 2. Teorema notasi Teorema ini menyatakan bahwa dalam pengajaran suatu konsep, penggunaan notasi – notasi matematika harus diberikan sacara bertahap, dimulai dari yang sederhana yang secara koqnitif dapat lebih mudah dipahami para siswa sampai kepada yang semakin kompleks notasinya. 3. Teorema pengontrasan dan keanekaragaman (teorema kontras dan variasi) Teorema ini mengatakan bahwa prosedur penyajian suatu konsep dari yang konkret ke yang lebih abstrak harus dilakukan dengan kegiatan pengontrasan dan beraneka ragam. Misalnya jari – jari, garis tengah, tali busur, juring, tembreng dari suatu lingkaran semuanya akan lebih bermakna apabila mereka dipertentangkan satu sama lainnya. Selain pengontrasan perlu juga adanya penyajian yang beraneka ragam.Misalnya konsep lingkaran, kerucut, cincin dan gambar-gambar lingkaran dengan berbagai ukuran jari-jari. 4. Teorema pengaitan (teorema konektivitas) Menurut teorema ini bahwa setiap konsep, dalil dan keterampilan matematika berkaitan dengan konsep, dalil, dan keterampilan matematika lainnya. Karena itulah pada pembelajaran matematika akan lebih berhasil bila para siswa lebih banyak diberi kesempatan untuk melihat kaitan-kaitan tersebut.
Penerapan teori brunner dan teori gagne dengan strategi Pembelajaran Kontekstual Sdikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berjalan dengan produktif dan bermakna bagi siswa adalah strategi pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) yang selanjutnya disebut CTL. Strategi CTL fokus pada siswa sebagai pembelajar yang aktif, dan memberikan rentang yang luas tentang peluang-peluang belajar bagi mereka yang menggunakan kemampuan-kemampuan akademik mereka untuk memecahkan masalah-masalah kehidupan nyata yang kompleks. Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar siswa tidak mampu menghubungkan antara materi yang mereka pelajari dengan pemanfaatannya dalam kehidupan nyata. Pemahaman konsep akademik yang dimiliki siswa hanyalah merupakan sesuatu yang abstrak, belum menyentuh kebutuhan praktis kehidupan siswa.
Pembelajaran secara konvensional yang diterima siswa hanyalah penonjolan tingkat hafalan dari sekian macam topik, tetapi belum diikuti dengan pengertian dan pemahaman yang mendalam yang bisa diterapkan ketika mereka berhadapan dengan situasi baru dalam kehidupannya.
A. Pengertian Pembelajaran Kontekstual Terkait dengan CTL ini, para ahli menyebutnya dengan istilah yang berbeda-beda, seperti: pendekatan pembelajaran kontekstual, strategi pembelajaran kontekstual, dan model pembelajaran kontekstual. Apapun istilah yang digunakan para ahli tersebut, pada dasarnya kontekstual berasal dari bahasa Inggris “contextual” yang berarti sesuatu yang berhubungan dengan konteks. Oleh sebab itu pembelajaran kontekstual merupakan konsep pembelajaran yang mana guru menggunakan pengalaman siswa yang pernah dilihat atau dilakukan dalam kehidupannya sebagai sumber belajar pendukung. Pembelajaran dapat mendorong siswa membuat hubungan antara materi yang dipelajari, pengalaman yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Landasan filosofis CTL adalah konstruktivisme yaitu filosofi belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekadar menghafal, tetapi merekonstruksikan atau membangun pengetahuan dan keterampilan baru lewat fakta-fakta atau proposisi yang mereka alami dalam kehidupannya. Pendekatan ini selaras dengan konsep kurikulum berbasis kompetensi yang diberlakukan saat ini dan secara operasional tertuang pada KTSP. Kehadiran kurikulum berbasis kompetensi juga dilandasi oleh pemikiran bahwa berbagai kompetensi akan terbangun secara mantap dan maksimal apabila pembelajaran dilakukan secara kontekstual.
B. Karakteristik Pembelajaran Kontekstual Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual mempunyai karakteristik sebagai berikut. a. Pembelajaran dilaksanakan dalam konteks autentik, yaitu pembelajaran yang diarahkan pada ketercapaian keterampilan dalam konteks kehidupan nyata atau pembelajaran yang dilaksanakan dalam lingkungan yang alamiah. b. Pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan tugas-tugas yang bermakna. c. Pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan pengalaman bermakna kepada siswa. d. Pembelajaran dilaksanakan melalui kerja kelompok, berdiskusi, saling mengoreksi antar teman. e. Pembelajaran memberikan kesempatan untuk menciptakan rasa kebersamaan, bekerja sama, dan saling memahami antara satu dengan yang lain secara mendalam. f. Pembelajaran dilaksanakan secara aktif, kreatif, produktif, dan mementingkan kerja sama. g. Pembelajaran dilaksanakan dalam situasi yang menyenangkan.
Secara lebih sederhana karakteristik pembelajaran kontekstual dapat dinyatakan menggunakan sepuluh kata kunci yaitu: kerja sama, saling menunjang, menyenangkan, belajar dengan gairah, pembelajaran terintegrasi, menggunakan berbagai sumber, siswa aktif, sharing dengan teman, siswa kritis dan guru kreatif. 1. Implementasi Pembelajaran Kontekstual di Kelas Pendekatan CTL memiliki tujuh komponen utama. Kelas dikatakan menerapkan CTL jika menerapkan ke tujuh komponen tersebut dalam pembelajarannya. Secara garis besar langkah-langkah penerapatan CTL dalam kelas sebagai berikut. 1) Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri dan mengkontruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya 2) Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiri untuk semua topik 3) Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya 4) Ciptakan masyaraka belajar (belajar dalam kelompok) 5) Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran 6) Lakukan refleksi di akhir pertemuan 7) Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara Untuk lebih jelasnya uraian setiap komponen utama CTL dan penerapannya dalam pembelajaran adalah sebagai berikut sebagai berikut: a. Kontruktivisme (Constructivism) Komponen ini merupakan landasan berfikir pendekatan CTL. Pembelajaran konstruktivisme menekankan terbangunnya pemahaman sendiri secara aktif, kreatif dan produktif berdasarkan pengetahuan terdahulu dan dari pengalaman belajar yang bermakna. Pengetahuan bukanlah serangkaian fakta, konsep dan kaidah yang siap dipraktekkan, melainkan harus dkonstruksi terlebih dahulu dan memberikan makna melalui pengalaman nyata. Karena itu siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan mengembangkan ide-ide yang ada pada dirinya. Prinsip konstruktivisme yang harus dimiliki guru adalah sebagai berikut. 1) Proses pembelajaran lebih utama dari pada hasil pembelajaran. 2) Informasi bermakna dan relevan dengan kehidupan nyata siswa lebih penting daripada informasi verbalistis. 3) Siswa mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk menemukan dan menerapkan idenya sendiri. 4) Siswa diberikan kebebasan untuk menerapkan strateginya sendiri dalam belajar. 5) Pengetahuan siswa tumbuh dan berkembang melalui pengalaman sendiri. 6) Pengalaman siswa akan berkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila diuji dengan pengalaman baru. 7) Pengalaman siswa bisa dibangun secara asimilasi (pengetahuan baru dibangun dari pengetahuan yang sudah ada) maupun akomodasi (struktur pengetahuan yang sudah ada dimodifikasi untuk menyesuaikan hadirnya pengalaman baru). Pada penerapanya dengan teori brunner Bruner mengatakan bahwa tiap-tiap pelajaran dapat diajarkan secara baik dalam bentuk ilmiah pada tiap anak didik dan setiap tingkatan pertumbuhannya. Dengan teori dan konsep belajar Bruner bahwa kemampuan belajar anak didik sekolah dasar dengan matematika tidak ada perbedaan selama dipenuhi syaratnya Bruner (dalam Simanjuntak, 1993: 70) langkah yang paling baik belajar matematika adalah dengan melakukan penyusunan presentasinya, karena langkah permulaan belajar konsep, pengertian akan lebih melekat bila kegiatan-kegiatan yang menunjukan representasi (model) konsep dilakukan oleh siswa sendiri dan antara pelajaran yang lalu dengan yang dipelajari harus ada kaitannya. Bruner dalam belajar matematika menekankan pendekatan dengan bentuk spiral. Pendekatan spiral dalam belajar mengajar matematika adalah menanamkan konsep dan dimulai dengan benda konkret secara intuitif, kemudian pada tahap-tahap yang lebih tinggi (sesuai kemampuan siswa) konsep ini diajarkan dalam bentuk yang abstrak dengan menggunakan notasi yang lebih umum dipakai dalam matematika. 
Bruner (dalam Henisrawati, 2008: 13) mengemukakan bahwa dalam proses belajarnya siswa melewati tiga tahap, yaitu: a. Tahap Enaktif Tahap enaktif adalah suatu tahapan dalam pembelajaran di mana konsep matematika dipelajari secara aktif yang direpresentasikan melalui benda-benda konkret atau situasi nyata. b. Tahap Ikonik Tahap ikonik adalah suatu tahapan dalam pembelajaran di mana konsep matematika direpresentasikan dalam bentuk bayangan visual, gambar atau diagram yang menggambarkan situasi konkret yang terdapat pada tahap enaktif. c. Tahap Simbolik Tahap simbolik adalah suatu tahapan dalam pembelajaran di mana konsep matematika direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak (simbol yang lazim digunakan berdasarkan kesepakatan orang-orang dalam bidang yang bersangkutan), baik simbol-simbol yang verbal maupun lambang-lambang matematika atau lambang-lambang abstrak yang lain. b. Bertanya (Questioning) Komponen ini merupakan strategi pembelajaran CTL. Bertanya dalam pembelajaran CTL dipandang sebagai upaya guru yang bisa mendorong siswa untuk mengetahui sesuatu, mengarahkan siswa untuk memperoleh informasi, sekaligus mengetahui perkembangan kemampuan berfikir siswa. Pada sisi lain, kenyataan menunjukkan bahwa pemerolehan pengetahuan seseorang selalu bermula dari bertanya. Prinsip yang perlu diperhatikan guru dalam pembelajaran berkaitan dengan komponen bertanya sebagai berikut. 1) Penggalian informasi lebih efektif apabila dilakukan melalui bertanya. 2) Konfirmasi terhadap apa yang sudah diketahui siswa lebih efektif melalui tanya jawab. 3) Dalam rangka penambahan atau pemantapan pemahaman lebih efektif dilakukan lewat diskusi baik kelompok maupun kelas. 4) Bagi guru, bertanya kepada siswa bisa mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berpikir siswa. 5) Dalam pembelajaran yang produktif kegiatan bertanya berguna untuk: menggali informasi, mengecek pemahaman siswa, membangkitkan respon siswa, mengetahui kadar keingintahuan siswa, mengetahui hal-hal yang diketahui siswa, memfokuskan perhatian siswa sesuai yang dikehendaki guru, membangkitkan lebih banyak pertanyaan bagi diri siswa, dan menyegarkan pengetahuan siswa. c. Menemukan (Inquiry) Komponen menemukan merupakan kegiatan inti CTL. Kegiatan ini diawali dari pengamatan terhadap fenomena, dilanjutkan dengan kegiatan-kegiatan bermakna untuk menghasilkan temuan yang diperoleh sendiri oleh siswa. Dengan demikian pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa tidak dari hasil mengingat seperangkat fakta, tetapi hasil menemukan sendiri dari fakta yang dihadapinya. Prinsip yang bisa dipegang guru ketika menerapkan komponen inquiry dalam pembelajaran adalah sebagai berikut. Pengetahuan dan keterampilan akan lebih lama diingat apabila siswa menemukan sendiri. 8) Informasi yang diperoleh siswa akan lebih mantap apabila diikuti dengan bukti-bukti atau data yang ditemukan sendiri oleh siswa. 9) Siklus inquiry adalah observasi, bertanya, mengajukan dugaan, pengumpulan data, dan penyimpulan. 10) Langkah-langkah kegiatan inquiry: merumuskan masalah; mengamati atau melakukan observasi; menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lain; mengkomunikasikan atau menyajikan hasilnya pada pihak lain (pembaca, teman sekelas, guru, audiens yang lain). d. Masyarakat belajar (learning community) Komponen ini menyarankan bahwa hasil belajar sebaiknya diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Hasil belajar bisa diperoleh dengan sharing antar teman, antarkelompok, dan antara yang tahu kepada yang tidak tahu, baik di dalam maupun di luar kelas. Karena itu pembelajaran yang dikemas dalam diskusi kelompok dengan anggota heterogen dan jumlah yang bervariasi sangat mendukung komponen learning community. Prinsip-prinsip yang bisa diperhatikan guru ketika menerapkan pembelajaran yang berkonsentrasi pada komponen learning community adalah sebagai berikut. 1) Pada dasarnya hasil belajar diperoleh dari kerja sama atau sharing dengan pihak lain. 2) Sharing terjadi apabila ada pihak yang saling memberi dan saling menerima informasi. 3) Sharing terjadi apabila ada komunikasi dua atau multiarah. 4) Masyarakat belajar terjadi apabila masing-masing pihak yang terlibat di dalamnya sadar bahwa pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan yang dimilikinya bermanfaat bagi yang lain. 5) Siswa yang terlibat dalam masyarakat belajar pada dasarnya bisa menjadi sumber belajar. e. Pemodelan (modelling) Komponen pendekatan CTL ini menyarankan bahwa pembelajaran keterampilan dan pengetahuan tertentu diikuti dengan model yang bisa ditiru siswa. Model yang dimaksud bisa berupa pemberian contoh, misalnya cara mengoperasikan sesuatu, menunjukkan hasil karya, mempertontonkan suatu penampilan. Cara pembelajaran semacam ini akan lebih cepat dipahami siswa dari pada hanya bercerita atau memberikan penjelasan kepada siswa tanpa ditunjukkan modelnya atau contohnya. Prinsip-prinsip komponen modelling yang bisa diperhatikan guru ketika melaksanakan pembelajaran adalah sebagai berikut. 1) Pengetahuan dan keterampilan diperoleh dengan mantap apabila ada model atau contoh yang bisa ditiru. 2) Model atau contoh bisa diperoleh langsung dari yang berkompeten atau dari ahlinya. 3) Model atau contoh bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu, contoh hasil karya, atau model penampilan. f. Refleksi (reflection) Komponen yang merupakan bagian terpenting dari pembelajaran dengan pendekatan CTL adalah perenungan kembali atas pengetahuan yang baru dipelajari. Dengan memikirkan apa yang baru saja dipelajari, menelaah, dan merespons semua kejadian, aktivitas, atau pengalaman yang terjadi dalam pembelajaran, bahkan memberikan masukan atau saran jika diperlukan, siswa akan menyadari bahwa pengetahuan yang baru diperolehnya merupakan pengayaan atau bahkan revisi dari pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Kesadaran semacam ini penting ditanamkan kepada siswa agar ia bersikap terbuka terhadap pengetahuan-pengetahuan baru. Prinsip-prinsip dasar yang perlu diperhatikan guru dalam rangka penerapan komponen refleksi adalah sebagai berikut. 1) Perenungan atas sesuatu pengetahuan yang baru diperoleh merupakan pengayaan atas pengetahuan sebelumnya. 2) Perenungan merupakan respons atas kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diperolehnya. 3) Perenungan bisa berupa menyampaikan penilaian atas pengetahuan yang baru diterima, membuat catatan singkat, diskusi dengan teman sejawat, atau unjuk kerja. g. Penilaian autentik (authentic assessment) Komponen yang merupakan ciri khusus dari pendekatan kontekstual adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran atau informasi tentang perkembangan pengalaman belajar siswa. Gambaran perkembangan pengalaman siswa ini perlu diketahui guru setiap saat agar bisa memastikan benar tidaknya proses belajar siswa. Dengan demikian, penilaian autentik diarahkan pada proses mengamati, menganalisis, dan menafsirkan data yang telah terkumpul ketika atau dalam proses pembelajaran siswa berlangsung, bukan semata-mata pada hasil pembelajaran. Sehubungan dengan hal tersebut, prinsip dasar yang perlu menjadi perhatian guru ketika menerapkan komponen penilaian autentik dalam pembelajaran adalah sebagai berikut. 1) Penilaian autentik bukan menghakimi siswa, tetapi untuk mengetahui perkembangan pengalaman belajar siswa. 2) Penilaian dilakukan secara komprehensif dan seimbang antara penilaian proses dan hasil. 3) Guru menjadi penilai yang konstruktif (constructive evaluators) yang dapat merefleksikan bagaimana siswa belajar, bagaimana siswa menghubungkan apa yang mereka ketahui dengan berbagai konteks, dan bagaimana perkembangan belajar siswa dalam berbagai konteks belajar. 4) Penilaian autentik memberikan kesempatan siswa untuk dapat mengembangkan penilaian diri (self assessment) dan penilaian sesama (peer assessment).